Tarif
Murah vs Pelayanan dan Keamanan
Beberapa
hari ini, dunia penerbangan tanah air kita kembali dibuat geger. Belum ada dua
bulan setelah kasus jatuhnya pesawat Air Asia QZ8501, maskapai penerbangan lain
yang juga berbasis LCC (Low Cost Carrier), Lion Air, juga menggemparkan dunia
pelayanan penerbangan di Indonesia.
Setelah
masyarakat digemparkan dengan pemberitaan tragedi jatuhnya pesawat Air Asia
yang diangkat oleh media selama hampir selama sebulan penuh dengan durasi
tayang atau durasi pengulasan berita yang hampir setiap jam, kini bertepatan
dengan hari libur perayaan tahun baru China (Imlek) tanggal 18 Februari 2015,
ribuan penumpang atau sekitar enam ribu penumpang penerbangan Lion Air
terlantar di beberapa bandara tanah air, akibat ketidakjelasan informasi
keterlambatan penerbangan.
Saat
itu, belum diketahui dengan jelas apakah alasan penundaan dan keterlambatan
penerbangan tersebut. Pihak front desk hingga stakeholder maskapai tersebut tak
kunjung tampil ke depan publik untuk memberikan kejelasan berkaitan dengan
masalah ini.
Akibatnya
amarah ribuan customer penerbangan tersebut memuncak. Para penumpang yang
terlantar beberapa hari tersebut juga tidak hanya tidak mendapatkan kejelasan
kabar keberangkatan mereka, namun juga tidak mendapatkan fasilitas pengganti
yang seharusnya dipenuhi pihak maskapai, yang tercantum dalam Peraturan Menteri
Perhubungan Nomor PM. 49 Tahun 2012.
Maskapai
Berbasis LCC dan Pelayanannya
Maskapai
LCC atau Low Cost Carrier adalah maskapai penerbangan yang menawarkan tarif
rendah kepada customer-nya, dengan konsekuensi penghapusan atau pengurangan
beberapa layanan atau fasilitas yang akan didapatkan oleh penerbangan reguler.
Penerbangan dengan tipe ini juga disebut 'Discounter Carrier' biasanya identik
dengan bisnis jasa penerbangan yang menganut layanan “efisisen, sederhana dan
ringkas”.
Jenis
penerbangan ini diperkenalkan di Amerika Serikat yang akhirnya diikuti oleh
banyak perusahan maskapai penerbangan di seluruh dunia. Bagaimana tidak, bisnis
tipe ini cukup merauk untung yang besar. Dilansir dari berbagai media, pada
saat kondisi penerbangan internasional tengah mengalami krisis dengan adanya
isu terorisme dan perang, jasa penerbangan dengan basis LCC masih tetap
mendapatan keuntungan. Para konsumen tetap memlilih penerbangan murah untuk
melakukan perjalanan walaupun dengan kondisi tersebut.
Jika
kita tengok di dalam negeri, kita bisa melihat Air Asia dan Lion Air adalah dua
di antara maskapai yang menerapkan konsep penerbangan tersebut. Tak jarang kita
dapat menemukan promo tarif penerbangan besar-besaran yang dilakukan kedua
maskapai tersebut melalui laman website mereka.
Namun
tak jarang dua maskapai ini juga kerap mewarnai pemberitaan di media seputar
isu pelayanan dan keselamatan penumpangnya. Terlebih dua bulan terakhir.
Setelah tragedi jatuhnya pesawat Air Asia QZ8501, kini giliran keterlambatan
pemberangkatan penumpang yang bukan merupakan masalah pertama bagi Lion Air.
Namun, peristiwa beberapa hari telah makin mencoreng nama Lion Air sebagai
maskapai penerbangan dengan tarif 'murah'. Kemudian yang menjadi pertanyaan
publik atau masyarakat, apakah layanan penerbangan berbasis 'tarif murah' ini
kemudian mengabaikan keselamatan penumpang dan pelayanannya?
Pelanggaran
izin terbang yang dilakukan penerbangan Air Asia QZ8501 pada tragedi saat itu,
dan juga beberapa pelanggaran yang juga dilakukan oleh maskapai ber-tagline
"We Make People Fly" ini menambah citra buruk bisnis penerbangan
berkonsep LCC ini. Jika kita tengok karakteristik penerbangan ini, memang LCC
akan mengeliminasi layanan maskapai reguler pada umumnya, yaitu:
- Pengurangan katering;
- Meminimalisasi layanan
konsumen dengan penggunaan bantuan IT (direct sales) sehingga dapat mengurangi
operational cost dan mendapatkan kecepatan dan kemudahan dalam sistem
service-nya;
- Kapasitas kelas
ekonomi yang lebih banyak daripada layanan penerbangan reguler;
- Seringkali maskapai
melakukan ekspansi promo besar-besaran untuk memperkuat positioning mereka
sebagai maskapai LCC;
- Dan memberlakukan
penanganan ground handling yang cepat dan pesawat mempunyai utilisasi jam
terbang yang tinggi
Konsep
ini memang dilakukan untuk memikat konsumen untuk tetap dapat bepergian jarak
jauh meski dengan merogoh kocek yang minim. Hal positif yang didapatkan
masyarakat adalah mobilitas masyarakat terbantu oleh tarif tiket yang
murah−walaupun dengan layanan 'ala kadarnya'. Terlebih beberapa tahun terakhir,
dengan adanya konsep penerbangan LCC, antusias masyarakat Indonesia untuk
bepergian menggunakan angkutan udara terbilang cukup tinggi.
Jasa-jasa
penerbangan LCC berlomba-lomba melakukan perang tarif untuk mendapatkan
konsumen yang banyak, namun terkadang mengabaikan faktor-faktor keselamatan dan
pelayanan penumpang atau hal-hal teknis yang berkaitan dengan pelaksanaan
penerbangan. Seperti yang kita lihat pada kasus Lion Air beberapa hari ini,
informasi yang saat ini berhembus tentang penyebab ketertundaan beberapa
penerbangan maskapai tersebut, dikarenakan adanya ketidaksingkronan tim marketing
Lion Air dengan pihak teknis penerbangan maskapai tersebut sehingga menimbulkan
ketertundaan penerbangan
Hal
ini diperparah juga dengan diabaikannya hak para konsumen yang terlantar akibat
tertundanya jadwal penerbangan mereka, seperti yang dilansir dalam online news
Media Indonesia, bahwa pihak Angkasa Pura dalam peristiwa ini harus turun
langsung membantu pengembalian uang pembelian tiket atau “refund” kepada pihak
konsumen Lion Air yang telah menunggu kejelasan nasib mereka.
Solusi
Tarif Murah vs Pelayanan dan Keamanan
Beberapa
peristiwa terkait penerbangan dua bulan terakhir ini, memungkinkan adanya
kecemasan dan penurunan kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap perusahaan
angkutan udara, terlebih dengan sistem pemberitaan media di Indonesia yang terkesan
memberitakan isu-isu terkait rendahnya keamanan dan pelayanan penerbangan LCC
ini. Bahkan tragedi tersebut telah mengundang rencana Menteri Perhubungan
Ignasius Jonan yang akan menghapuskan tiket penerbangan murah.
Melihat
dari isu tersebut, sebenarnya penerbangan berbasis LCC ini tidak dapat
sepenuhnya selalu diidentikkan dengan “murah bearti rendahnya pelayanan dan
tingkat keamanan”. Namun yang perlu kembali kita evaluasi adalah selain dari
evaluasi teknis berkaitan dengan pengecekan standar kemanan yang tercantum
dalam IATA Operational Safety Audit (IOSA) yang ditetapkan oleh International
Air Transport Association (IATA) oleh masing-masing maskapai dan dukungan dari
berbagai pihak terkait transportasi seperti Air Traffic Control (ATC), pihak
bandara, pihak operator penerbangan, tetapi juga bagaimana strategi komunikasi
pemasaran dan customer relations oleh masing-masing maskapai.
Dapat
dilihat, bagaimana komunikasi pemasaran dan manajemen krisis serta customer
relations yang dilakukan oleh seluruh jajaran stakeholder dan maskapai Air Asia
saat tragedi jatuhnya salah satu pesawatnya Desember lalu. Maskapai tersebut
langsung memposisikan diri mereka dalam keadaaan tanggap darurat.
Di
mana, seluruh jajaran termasuk sang CEO Tony Fernandes bersedia turun langsung
memberikan penjelasan dan mencoba berusaha mengupdate setiap informasi yang
akan dan telah dilakukan dalam evakuasi penumpang dan awak pesawat tersebut,
termasuk pemberiaan kompensasi dan mengakomodir keluhan para keluarga korban.
Hal ini dapat kita lihat sebagai bentuk dari tanggung jawab dan strategi
komunikasi pemasaran serta manajemen krisis yang dilakukan maskapai tersebut
guna tetap memelihara relations yang baik terhadap pelanggannya pada khususnya
dan masyarakat luas pada umumnya.
Hal
tersebut juga dapat mengubah mindset masyarakat terhadap hal-hal negatif yang
berhubungan dengan tragedi kecelakan tersebut. Dengan pengemasan yang strategi
dan customer relations yang baik, citra dan kepercayaan masyarakat akan moda
penerbangan LCC ini juga akan berbuah positif.